BeritaEdukasi

Legitimasi Citra Politik Prabowo Senior Ditentukan Prabowo Junior

17
×

Legitimasi Citra Politik Prabowo Senior Ditentukan Prabowo Junior

Sebarkan artikel ini

By : Muhammad Ma’Rifatul Ridha- (Mahasiswa UBB)

Dalam politik kontemporer, legitimasi tidak hanya ditentukan oleh performa kebijakan, melainkan oleh bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan kepada publik. Max Weber, dalam analisis klasiknya, mengajarkan bahwa otoritas politik membutuhkan legitimasi—yakni penerimaan sosial terhadap kekuasaan yang berkuasa. Namun, legitimasi ini tidak pernah hadir begitu saja; ia dibangun, dirawat, dan dinegosiasikan melalui proses komunikasi yang berkesinambungan.

Pemerintah yang gagal mengelola komunikasi publik pada dasarnya sedang mengikis fondasi legitimasi politiknya sendiri.

Dalam konteks Indonesia hari ini, pemerintahan Prabowo Subianto menghadapi tantangan komunikasi yang serius. Meski tingkat kepuasan publik relatif tinggi pada 100 hari pertama—Litbang Kompas mencatat 80,9 persen dan Indikator Politik Indonesia melaporkan 79,3 persen—angka tersebut tidak serta merta menjadi jaminan legitimasi jangka panjang. Angka tinggi itu lebih tepat dibaca sebagai “bulan madu politik,” sebuah fenomena di mana masyarakat memberi toleransi terhadap rezim baru dengan ekspektasi besar.

Sejarah demokrasi modern menunjukkan bahwa bulan madu ini bisa cepat berlalu ketika publik menemukan blunder komunikasi yang berulang, apalagi jika menyangkut isu-isu yang langsung bersentuhan dengan kepentingan hidup mereka.

Prabowo sendiri mengakui bahwa komunikasi publik pemerintahannya “buruk.” Pernyataan ini, yang disampaikan pada April 2025, menjadi pengakuan terbuka bahwa komunikasi bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan persoalan strategis yang bisa memengaruhi legitimasi rezim. Blunder-blunder komunikasi—dari wacana PPN hingga gagasan pemilihan kepala daerah lewat DPRD—menunjukkan absennya disiplin framing dalam menyampaikan kebijakan. Robert Entman, dalam konsep framing-nya, menekankan bahwa komunikasi publik bukan hanya menyampaikan informasi, melainkan menyeleksi dan menonjolkan aspek realitas tertentu agar membentuk persepsi kolektif.

Ketika seleksi ini dilakukan secara serampangan, publik tidak menangkap solusi, melainkan problem baru.

Kegagalan itu semakin diperburuk oleh ketidakmampuan Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) yang seharusnya menjadi filter komunikasi presiden. Alih-alih memperkuat otoritas pesan Presiden, PCO justru kerap menjadi sumber polemik baru, baik karena jarak fisik dengan Istana maupun karena pernyataan-pernyataan Kepala PCO yang memicu kritik publik. Tidak mengherankan bila lembaga ini hanya berumur sebelas bulan sebelum akhirnya dibubarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *