Berita

The Power of Ulama for the Ummah’s Economy

20
×

The Power of Ulama for the Ummah’s Economy

Sebarkan artikel ini

Opini by : Rozi, S.Sos., M.A.,__Dosen Agama di Prodi Ekonomi FEB UBB

Saya sering merenung tentang bagaimana agama seharusnya hadir dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam ruang ibadah atau khutbah yang penuh nasihat, melainkan juga dalam persoalan ekonomi yang langsung menyentuh perut dan masa depan umat.

Bagi saya, kepemimpinan agama yang ideal adalah kepemimpinan yang mampu menghadirkan bimbingan moral sekaligus solusi nyata dalam menggerakkan ekonomi masyarakat.

Sinergi antara kepemimpinan agama dengan pemberdayaan ekonomi umat menjadi sangat penting, sebab keduanya saling membutuhkan : seperti moral tanpa praktek hanya akan jadi wacana, sedangkan praktek ekonomi tanpa nilai akan mudah terjebak pada keserakahan dan ketidakadilan.

Kalau saya melihat ke Bangka Belitung, provinsi yang kecil tapi kaya akan potensi, saya menemukan betapa ekonomi umat di sini masih menghadapi tantangan serius.

Selama ini, ekonomi Bangka Belitung sangat bergantung pada sektor pertambangan, khususnya timah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangka Belitung mencapai sekitar Rp107,50 triliun, dengan kontribusi terbesar masih datang dari sektor pertambangan dan penggalian (Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2024).

Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Menurut Lapangan Usaha 2020–2024. Pangkalpinang: BPS). Angka itu memang tampak besar, tetapi sebenarnya memperlihatkan kerentanan.

Ketika harga timah jatuh, daya beli masyarakat ikut terguncang. Sementara itu, angka kemiskinan di provinsi ini masih berkisar di atas 4,6 persen, dengan beban lebih besar dirasakan oleh penduduk pedesaan, terutama nelayan dan petani yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat (Sumber: Badan Pusat Statistik. (2023). Profil Kemiskinan di Indonesia September 2023. Jakarta: BPS).

Di titik inilah saya melihat peran kepemimpinan agama menjadi krusial. Ulama atau tokoh agama bukan hanya berfungsi sebagai pemberi ceramah, melainkan juga penuntun arah bagaimana umat bisa keluar dari ketergantungan pada sumber daya alam yang rapuh. Mereka bisa mengajarkan nilai kejujuran dalam transaksi, menekankan pentingnya menghindari praktik riba, dan mendorong solidaritas melalui zakat, infak, serta wakaf produktif. Nilai-nilai itu bukan hanya soal pahala, tetapi juga instrumen sosial yang bisa membangun kemandirian ekonomi.

Saya membayangkan bagaimana kuatnya dampak jika masjid-masjid di Bangka Belitung menjadi pusat edukasi ekonomi umat, tempat orang belajar pembukuan sederhana, memahami koperasi syariah, hingga berdiskusi tentang peluang usaha kecil.

Saya pribadi percaya bahwa umat masih memerlukan figur moral yang mereka percayai untuk menggerakkan ekonomi.

Banyak orang kecil yang sebenarnya punya potensi usaha, entah berdagang ikan, berkebun lada, atau membuat kerajinan, tetapi mereka takut mengambil risiko karena kurang akses modal dan bimbingan.

Ulama dengan otoritas moralnya bisa membuka jalan, misalnya menginisiasi koperasi syariah berbasis jamaah masjid atau lembaga keuangan mikro yang dikelola secara amanah. Nelayan tidak lagi harus berhutang pada rentenir, petani bisa menjual hasil panennya dengan harga yang lebih adil, dan pengusaha kecil bisa memiliki jaringan pemasaran yang lebih luas.

Saya teringat bagaimana Islam sejak awal menempatkan ekonomi dalam pusat kehidupan.

Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sukses, dan para sahabat pun banyak yang terlibat dalam aktivitas bisnis. Artinya, membicarakan ekonomi bukanlah hal asing bagi agama, justru bagian dari tradisi panjang peradaban Islam. Maka tidak salah kalau hari ini kita mengharapkan ulama menjadi motor kebangkitan ekonomi umat.

Dakwah tidak harus berhenti pada mimbar, ia bisa diperluas dalam bentuk program nyata yang menyentuh kebutuhan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *