Memukul Istri dan Bertindak KDRT Diperbolehkan Untuk Dilakukan? Ini Jawabannya Dalam Islam

oleh -

Liputansatu.com – Belakangan ini tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT tengah hangat diperbincangkan oleh publik.

Berawal dari cuplikan video dakwah dari Ustadzah Oki Setiana Dewi banyak warganet yang menanggapi dengan pro dan kontra terhadap isi dakwah dan kisah yang diceritakan oleh Ustadzah Oki Setiana Dewi.

Di dalam dakwahnya yang menceritakan kisah rumah tangga di Jeddah dimana seorang istri menutupi aib suaminya yang tega memukul dirinya dan lebih memilih bungkam, isi dakwah tersebut dinilai menormalisasikan tindak KDRT.

Lantas apakah tepat jika tindakan KDRT ditutupi oleh seorang istri sedangkan seorang istri telah menahan sakit menjadi korban kekerasan dari sang suami?. Mari kita ulas bersama-sama.

Tindakan kekerasan baik di dalam rumah tangga ataupun di luar lingkungan rumah tangga itu tidak dibenarkan untuk dilakukan yaaa.

Bahkan hukum di Negara kita Indonesia memberikan ancaman hukuman bagi siapapun pelaku tindak kekerasan terhadap orang lain.

Di dalam rumah tangga meskipun seorang suami adalah imam atau kepala rumah tangga, tidak ada hak untuk seorang suami memukul atau melakukan tindak kekerasan kepada istrinya meskipun sang istri salah.

Memang menurut beberapa hadist ada dan diperbolehkan seorang suami jika memang seoranh istri salah GanSis. Itupun memukul tidak di bagian wajah, tidak melukai fisik, dan telah dilakukan 4 perkara untuk memberikan nasihat kepada sang istri.

Berikut ini kutipan hadist yang menjelaskan bahwa suami boleh memukul istri asal tidak melukai fisik.

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas.” (HR Muslim no 1218).

“Di antara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah.” (Hadits sahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no 2128), Ibnu Majah (I/593 no 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah RA).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *