Liputansatu.com – Sepekan terakhir ini marak menjadi perbincangan adanya usulan bahasa resmi kedua di kalangan bangsa-bangsa yang terhimpun dalam ASEAN.
Ide awal dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia, dalam akun media sosialnya, mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua di ASEAN dengan alasan bahasa Melayu dituturkan dari Indonesia hingga Kamboja.
Bereaksi terhadap usulan tersebut Mendikbudristek, Nadiem Makarim, dalam siaran pers kemendikbud mengatakan, bahasa Indonesia menurutnya lebih layak untuk dikedepankan dengan mempertimbangkan keunggulan historis, hukum, dan linguistik.
Dalam siaran pers tersebut dengan tegas, mendikbudristek menolak usulan pihak Malaysia tersebut.
Jika Malaysia dapat mengusulkan bahasa Melayu, Indonesia pun memiliki hak yang sama untuk mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua ASEAN.
Nadiem kemudian menjelaskan bahwa di tingkat internasional, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara dan penyebarannya telah mencakup 47 negara di seluruh dunia.
Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) juga telah diselenggarakan oleh 428 lembaga, baik yang difasilitasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, maupun yang diselenggarakan secara mandiri oleh pegiat BIPA, pemerintah, dan lembaga di seluruh dunia.
Selain itu, Bahasa Indonesia juga diajarkan sebagai mata kuliah di sejumlah kampus kelas dunia di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Asia.
“Dengan semua keunggulan yang dimiliki bahasa Indonesia dari aspek historis, hukum, dan linguistik, serta bagaimana bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang diakui secara internasional,” kata Nadiem.
“Sudah selayaknya bahasa Indonesia duduk di posisi terdepan, dan jika memungkinkan menjadi bahasa pengantar untuk pertemuan-pertemuan resmi ASEAN,” pungkasnya.