Legislator Minta Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif Listrik Perihal Penerapan pajak Karbon

oleh -

Liputansatu.com – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah untuk tidak mengaitkan ketentuan pajak karbon dengan kenaikan tarif listrik di tahun 2022. Sebab, hal ini dalam rangka menuju zero emission.

“Penerapan pajak karbon pada tahun 2022, sebagai disinsentif bagi kelembagaan yang melepas karbon, termasuk pembangkit listrik, dalam rangka menekan laju pelepasan karbon dioksida menuju zero emission, semestinya tidak secara otomatis diikuti dengan kenaikan tarif listrik,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (20/12/2021).

Namun demikian, ia juga menyadari sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia adalah PLTU yang memiliki hubungan langsung dengan pajak karbon. Akan tetapi, menurut Mulyanto, hal tersebut seharusnya tidak serta merta dijadikan patokan untuk menaikkan tarif listrik.

“Meski sekitar 70 persen pembangkit listrik kita adalah PLTU yang menjadi kontributor penting bagi pelepasan gas karbon dioksida. Namun tidak serta-merta penerapan pajak karbon ini langsung harus diikuti dengan peningkatan tarif listrik,” katanya.

Sebab, Mulyanto mengatakan, pajak karbon tidak berkaitan langsung dengan tarif listrik yang harus dibayar oleh masyarakat. Artinya, keduanya merupakan dua hal yang berbeda.

“Pajak karbon tujuannya agar lembaga pelepas karbon dioksida ke udara tergerak untuk mengurangi pelepasan karbon mereka melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih.  Karenanya, selain hukuman berupa pengenaan pajak karbon, Pemerintah tetap berkewajiban untuk mendorong dan membantu pembangkit listrik untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah udara mereka melalui berbagai skema insentif,” lanjutnya.

Selain itu, kata Mulyanto, pajak karbon yang berhasil dikumpulkan tersebut ujung-ujungnya akan masuk ke dalam kas negara, dan dapat digunakan untuk membayar subsidi atau kompensasi listrik kepada PLN.

“Ini kan soal kantong kiri dan kantong kanan bendahara negara. Jadi kalaupun penerapan pajak karbon dapat meningkatkan biaya penyediaan listrik (BPP) PLN, namun secara total net dengan sumber baru penerimaan negara tersebut menjadi impas. Artinya penerapan pajak karbon tidak serta-merta harus diikuti dengan kenaikan tarif listrik,” ujar Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.

Mulyanto menegaskan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, di mana ekonomi masyarakat, termasuk industri, belum pulih benar, semestinya pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan kenaikan tarif listrik. Hal ini akan menjadi kebijakan yang memberatkan masyarakat.

Untuk diketahui, sebagai konsekuensi dari diundangkannya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diatur ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon bagi lembaga atau perorangan yang melepas karbon dioksida ke udara.

Besaran pajak tersebut adalah sebesar Rp30/kg karbon dioksida (CO2e). Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon ini untuk pembangkit listrik terhitung mulai April 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *